BAB 1
PENDAHULUAN
Bahwa sejak manusia mulai hidup bermasyarakat, maka sejak saat itu sebuah gejala yang disebut masalah sosial berkutat di dalamnya. Sebagaimana diketahui, dalam realitas sosial memang tidak pernah dijumpai suatu kondisi masyarakat yang ideal. Dalam pengertian tidak pernah dijumpai kondisi yang menggambarkan bahwa seluruh kebutuhan setiap warga masyarakat terpenuhi, seluruh perilaku kehidupan sosial sesuai harapan atau seluruh warga masyarakat dan komponen sistem sosial mampu menyesuaikan dengan tuntutan perubahan yang terjadi.
Pada jalur yang searah, sejak tumbuhnya ilmu pengetahuan sosial yang mempunyai obyek studi kehidupan masyarakat, maka sejak itu pula studi masalah sosial mulai dilakukan. Dari masa ke masa para Sosiolog mengumpulkan dan mengkomparasikan hasil studi melalui beragam perspektif dan fokus perhatian yang berbeda-beda, hingga pada akhirnya semakin memperlebar jalan untuk memperoleh pandangan yang komprehensif serta wawasan yang luas dalam memahami dan menjelaskan fenomena sosial.
Masalah sosial menemui pengertiannya sebagai sebuah kondisi yang tidak diharapkan dan dianggap dapat merugikan kehidupan sosial serta bertentangan dengan standar sosial yang telah disepakati. Keberadaan masalah sosial di tengah kehidupan masyarakat dapat diketahui secara cermat melalui beberapa proses dan tahapan analitis, yang salah satunya berupa tahapan diagnosis. Dalam mendiagnosis masalah sosial diperlukan sebuah pendekatan sebagai perangkat untuk membaca aspek masalah secara konseptual. Eitzen membedakan adanya dua pendekatan yaitu person blame approach dan system blame approach.
Person blame approach merupakan suatu pendekatan untuk memahami masalah sosial pada level individu. Diagnosis masalah menempatkan individu sebagai unit analisanya. Melalui diagnosis tersebut lantas bisa ditemukan faktor penyebabnya yang mungkin berasal dari kondisi fisik, psikis maupun proses sosialisasinya.
Sedangkan pendekatan system blame approach merupakan unit analisis untuk memahami sumber masalah pada level sistem. Pendekatan ini mempunyai asumsi bahwa sistem dan struktur sosial lebih dominan dalam kehidupan bermasyarakat. Individu sebagai warga masyarakat tunduk dan dikontrol oleh sistem. Masalah sosial sebagai kondisi yang dapat menghambat perwujudan kesejahteraan sosial pada gilirannya selalu mendorong adanya tindakan untuk melakukan perubahan dan perbaikan. Perwujudan kesejahteraan setiap warganya merupakan tanggung jawab sekaligus peran vital bagi keberlangsungan negara. Di lain pihak masyarakat sendiri juga perlu responsif terhadap masalah sosial jika menghendaki kondisi kehidupan berkembang ke arah yang semakin baik.
Salah satu contoh masalah sosial ialah kemiskinan dalam masyarakat.Kemiskinan adalah keadaan di mana terjadi kekurangan hal-hal secara umum seperti makanan, pakaian, tempat berlindung dan air minum. Hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup. Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah negara berkembang biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang miskin.
Kemiskinan bisa dikelompokan dalam dua kategori , yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mengacu pada satu set standard yang konsisten, tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat / negara. Sebuah contoh dari pengukuran absolut adalah persentase dari populasi yang makan dibawah jumlah yg cukup menopang kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa).
Kemiskinan merupakan masalah yang selalu ada pada setiap Negara. Permasalahan kemiskinan tidak hanya terdapat di negara-negara berkembang saja, bahkan di negara maju juga mempunyai masalah dengan kemiskinan. Kemiskinan tetap menjadi masalah yang rumit, walaupun fakta menunjukan bahwa tingkat kemiskinan di negara berkembang jauh lebih besar dibanding dengan negara maju. Hal ini dikarenakan negara berkembang pada umumnya masih mengalami persoalan keterbelakangan hampir di segala bidang, seperti : kapital, teknologi, kurangnya akses-akses ke sektor ekonomi, dan lain sebagainya.
Dengan melihat dari sisi negara berkembang salah satunya adalah Negara Indonesia, percapaian pembangunan manusia di Indonesia masih tertinggal dengan negara-negara tetangga di ASEAN seperti Malaysia, Thailand dan Filipina.
Dalam laporan pembangunan manusia (Human development Report 2005) yang terbaru, Indonesia berada pada tingkat menengah dalam pembangunan manusia global (Medium Human Development) dengan peringkat ke-110 dari 177 negara. Negara Indonesia yang pada saat ini masih berada pada tahap pemulihan restrukturisasi di bidang ekonomi dan juga perubahan-perubahan di bidang sosial politik. Dalam proses ini tidak dapat dihindari semakin meluasnya kesenjangan antarkelompok, juga antar daerah yang kaya dan daerah miskin, terutama kesenjangan Indek Pembangunan Manusia (IPM) yang mencakup tentang masalah kemiskinan.
Pada umumnya, partai-partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 juga mencantumkan program pengentasan kemiskinan sebagai program utama dalam platform mereka. Pada masa Orde Baru, walaupun mengalami pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di Indonesia tetap tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1996 masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang.
Hal ini bertolak belakang dengan pandangan banyak Ekonom yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya mengurangi penduduk miskin. Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS persentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi sebesar 17,4 persen dengan jumlah penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang.
Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2001, persentase keluarga miskin (Keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka-angka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.
BAB 2
INTENSITAS DAN KOMPLEKSITAS MASALAH
Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern pada masa kini mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan lainnya yang tersedia pada jaman modern.
Kemiskinan telah membuat perangkap-perangkap ketidakberuntungan yang melilit kehidupan sebagian masyarakat kita. Kemiskinan telah melahirkan generasi busung lapar di berbagai daerah, putus sekolah dan lestarinya kebodohan di tengah masyarakat bahkan realitas kemiskinan telah menjadi sumber berbagai kejahatan. Kemiskinan juga membuat kita seperti hilangnya kebebasan sebagai orang merdeka.
Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian : kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum : pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya.
Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri yang muncul di Eropa. Pada masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial lainnya, seperti : prostitusi, kriminalitas, pengangguran.
Amerika Serikat sebagai negara maju juga dihadapi masalah kemiskinan, terutama pada masa depresi dan resesi ekonomi tahun 1930-an. Pada tahun 1960-an Amerika Serikat tercatat sebagai negara adidaya dan terkaya di dunia. Sebagian besar penduduknya hidup dalam kecukupan. Bahkan Amerika Serikat telah banyak memberi bantuan kepada negara-negara lain. Namun dibalik keadaan itu tercatat sebanyak 32 juta orang atau seperenam dari jumlah penduduknya tergolong miskin.
Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya mempunyai 49,5 juta jiwa penduduk yang tergolong miskin (Survei Sosial Ekonomi Nasional / Susenas 1998). Jumlah penduduk miskin tersebut terdiri dari 17,6 juta jiwa di perkotaan dan 31,9 juta jiwa di perdesaan. Angka tersebut lebih dari dua kali lipat banyaknya dibanding angka tahun 1996 (sebelum krisis ekonomi) yang hanya mencatat jumlah penduduk miskin sebanyak 7,2 juta jiwa di perkotaan dan 15,3 juta jiwa perdesaan. Akibat krisis jumlah penduduk miskin diperkirakan makin bertambah.
Anggaran negara kita tidak cukup kuat untuk menyuplai masyarakat miskin. Karena hampir separonya sudah terkuras habis untuk membayar cicilan utang. Tahun 2006, pemerintah terpaksa harus membayar utang negara cicilan pokok plus bunga bank sebesar 42 % dari APBN. Pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo pada 2006 mencapai Rp. 91,71 triliun dan utang dalam negeri sebesar 74,93 triliun, dengan total Rp 166,64 triliun.
Sebagai contoh nyata melihat data yang dicatat Badan Pusat Statistik jumlah penduduk miskin di Sumatra Utara hingga Maret 2007 mencapai 1,768 juta jiwa dengan perhitungan telah terjadi angka penurunan dari 1,980 yang tercatat di bulan Mei 2006. Karena pertumbuhan ekonomi sebesar 8,44 persen. Meski begitu masih perlu dilakukan berbagai pembinaan terhadap masyarakat dalam rangka pengentasan kemiskinan itu.
Terutama pemberdayaan perempuan yang tersentuh langsung pada persoalan budget, karena kaum perempuan adalah manager dalam rumah tangga yang mengatur keuangan untuk berbagai keperluan. Kemiskinan seringkali menyeret manusia kepada tindakan yang merusak diri dan menjadi lahan pemanfaatan orang lain. Bisa dilihat dari banyaknya kasus bunuh diri yang dilakukan para ibu disertai anak-anaknya dengan alasan kemiskinan.
Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan alamiah dan buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan buatan terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia hingga mereka tetap miskin. Maka itulah sebabnya para pakar ekonomi sering mengkritik kebijakan pembangunan yang melulu terfokus pada pertumbuhan ketimbang pemerataan.
Berbagai persoalan kemiskinan penduduk memang menarik untuk disimak dari berbagai aspek, sosial, ekonomi, psikologi dan politik. Aspek sosial terutama akibat terbatasnya kualitas SDM, interaksi sosial dan penguasaan informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada terbatasnya pemilikan alat produksi, upah kecil, daya tawar rendah, tabungan nihil, lemah mengantisipasi peluang. Dari aspek psikologi terutama akibat rasa rendah diri, fatalisme, malas, dan rasa terisolir. Sedangkan dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, diskriminasi, posisi lemah dalam proses pengambil keputusan.
Sebagai contoh dikriminasi, praktik diskriminasi merupakan tindakan pembedaan untuk mendapatkan hak dan pelayanan kepada masyarakat dengan didasarkan warna kulit, golongan, suku, etnis, agama, jenis kelamin, dan sebagainya. Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik yang berakibat pengangguran, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan yang lain.
Dari segi peraturan perundang-undangan, beberapa peraturan perundang-undangan telah diarahkan untuk menghapuskan kesenjangan dan menghilangkan praktik diskriminasi, antara lain untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan, suku etnis, kelompok rentan, dan kelompok minoritas.
Namun, perubahan yang diharapkan belum terwujudkan secara optimal, antara lain disebabkan oleh peraturan perundang-undangan yang ada belum dijadikan acuan dalam melakukan tindakan untuk dijadikan dasar hukum pada proses hukum penanganan kasus atau perkara. Diskriminasi juga terjadi pada kehidupan masyarakat miskin atau kurang mampu. Akses untuk mendapatkan pelayanan khususnya pelayanan kesehatan masih sering menimbulkan diskriminasi, terutama kepada golongan masyarakat miskin dan menimbulkan ketidakadilan. Hal tersebut antara lain, disebabkan rendahnya kepedulian sosial penyelenggara rumah sakit.
Di samping itu, dikarenakan tidak adanya perangkat peraturan perundang-undangan yang mempunyai aturan kekuatan hukum dan sanksi yang tegas bagi rumah sakit yang menolak memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien miskin, menyebabkan penolakan dan penahanan rumah sakit terhadap pasien miskin masih sering terjadi.
Belum lagi sikap dan komitemen pemerintah dalam kebijakan dan program Pro Poor yang masih perlu dipertanyakan. Pemerintah daerah pun banyak yang melahirkan kebijakan kontraproduktif yang lebih memprioritaskan fasilitas bagi para pejabat. Misalnya : mobil dinas baru, rumah baru, dan uang kehormatan bagi anggota Dewan, fasilitas rekreasi yang dibungkus dengan program studi banding dan fasilitas-fasilitas lainnya yang jauh dari kepentingan publik.
Boleh jadi kompleksitas problem tersebut yang membuat pemerintahan SBY-JK sebagai ikon perubahan gagal mewujudkan impian masyarakat. Sesuai dengan hasil polling yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI), 50% masyarakat Indonesia menilai pemerintah belum berhasil mengatasi problem ekonomi, terutama masalah kemiskinan.
Pemerintah harus mencari format baru yang lebih ideal dalam melakukan proses pembinaan pada masyarakat miskin. Puluhan tahun birokrasi mengelola anggaran masyarakat miskin belum juga ada hasil yang optimal. Problemnya masih tetap klasik, prosedurnya birokratis, pendampingan kurang efektif sampai pada monitoring dan evaluasi yang kurang optimal. Program masyarakat miskin terkesan hanya formalitas. Selain itu masih terjadi penyimpangan di sana sini, karena strategi penanganan yang kurang tepat bersifat temporer dan berkelanjutan.
BAB 3
LATAR BELAKANG MASALAH
Bank Dunia menyatakan “Kemiskinan adalah kondisi terjadinya kekurangan pada taraf hidup manusia yang bisa berupa fisik dan sosial”. Kekurangan fisik adalah ketidakcukupan kebutuhan dasar materi dan biologis (basic material and biological needs) termasuk kekurangan nutrisi, kesehatan, pendidikan, dan perumahan. Ketidakcukupan sosial adalah adanya resiko kehidupan, kondisi ketergantungan, ketidakberdayaan, dan kepercayaan diri yang kurang.
Peraih hadiah Nobel Amartya Sen mengatakan, kemiskinan adalah kegagalan memenuhi kapabilitas minimum tertentu. Kapabilitas melekat pada kemampuan yang ada pada diri si miskin sendiri, dan dapat ditingkatkan dengan upaya yang sistematik. Makanya penanggulangan kemiskinan tidak semata-mata memenuhi kebutuhan dasar material, jauh lebih dari itu bagaimana mengatasi ketidakcukupan pelayanan pendidikan, kesehatan hingga kepuasan psikologis dan keberdayaan untuk menopang hidup diri sendiri, lepas dari ketergantungan terus menerus pada pihak lain.
Kemiskinan dapat dikategorikan ke dalam kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah adalah kondisi di mana kemiskinan terjadi akibat faktor-faktor biologis, psikologis dan sosial (malas, kurang trampil, kurang kemampuan intelektual, lemah fisik, dll). Lingkungan fisik membuat orang sulit melakukan usaha atau bekerja. Kemiskinan struktural terkait dengan ketidakadilan dalam perbandingan nilai pertukaran (terms of trade) antara nilai barang dan jasa yang dihasilkan dan dijual oleh si miskin dibandingkan dengan nilai barang dan jasa yang harus dibelinya. Termasuk ketidakadilan dalam pembayaran jasa-jasa pekerja (upah yang rendah dan eskploitasi pekerja). Juga pengenaan pungutan yang memberatkan dan relatif memeras rakyat kecil.
Menurut teori konservatif, kemiskinan tidak bermula dari struktur sosial, tetapi dari karakteristik khas orang-orang miskin itu sendiri. Misalnya : malas, boros, tidak merencanakan kehidupannya, dan pasrah pada keadaan. Orang miskin mempunyai budaya miskin (culture of poverty). Mereka miskin karena mereka miskin.
Penyebab orang menjadi miskin adalah karena ia terjebak dalam perangkap kemiskinan (kemiskinan materil, kelemahan jasmani, isolasi, kerentanan, dan ketidakberdayaan). Ini masalah sosial dan kultural. Makanya penanggulangan kemiskinan mesti melibatkan transformasi sosial dan kultural juga, termasuk perubahan nilai-nilai (misal : etos kerja). Pembagian sesuatu yang gratis adalah langkah tidak karena membudayakan kemiskinan. Kemiskinan banyak dihubungkan dengan :
•Penyebab individual atau patologis (yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan atau kemampuan dari si miskin)
•Penyebab keluarga (yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga)
•Penyebab sub-budaya / subcultural (yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar)
•Penyebab agensi (yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah dan ekonomi)
•Penyebab struktural (yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial)
Meskipun diterima luas bahwa kemiskinan adalah sebagai akibat dari kemalasan, namun di Amerika Serikat (negara terkaya per kapita di dunia), misalnya : memiliki jutaan masyarakat yang diistilahkan sebagai pekerja miskin, yaitu orang yang tidak sejahtera atau rencana bantuan publik, namun masih gagal melewati atas garis kemiskinan.
Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program-program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Hal itu antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.
Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya.
Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah : sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) serta dibebaskannya biaya-biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas). Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.
Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN. Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator dampak.
Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang
mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal.
Bisa saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa membingungkan pemimpin lokal (Pemerintah kabupaten / kota). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Sumba Timur. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam menyalurkan beras untuk orang miskin karena adanya dua angka kemiskinan yang sangat berbeda antara BPS dan BKKBN pada waktu itu. Di satu pihak angka kemiskinan Sumba Timur yang dihasilkan BPS pada tahun 1999 adalah 27 persen, sementara angka kemiskinan (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasilkan BKKBN pada tahun yang sama mencapai 84%.
Kedua angka ini cukup menyulitkan pemerintah dalam menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang digunakan untuk target sasaran rumah tangga adalah data BKKBN, sementara alokasi bantuan didasarkan pada angka BPS. Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) pada dasarnya (walaupun belum sempurna) dapat digunakan untuk memantau perkembangan serta perbandingan penduduk miskin antardaerah. Namun data makro tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan untuk target sasaran individu rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin diperlukan data mikro yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal.
Secara garis besarnya, ada 3 faktor penyebab kemiskinan yang menimpa masyarakat saat ini, yaitu :
1.Kemiskinan Alamiah, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi alami seseorang, misalnya : cacat mental, cacat fisik, usia lanjut sehingga tidak mampu bekerja, dan lain-lain.
2.Kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM akibat kultur kebiasaan masyarakat tertentu, misalnya : sifat malas, tidak produktif, bergantung pada harta orang tua, harta warisan, berjudi, kecanduan narkoba, kebiasaan menghayal tanpa kerja dan lain-lain.
3.Kemiskinan stuktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kesalahan sistem yang digunakan oleh negara dalam mengatur urusan rakyat. Misalnya : bencana alam dan pendistribusian bantuan bencana alam, tidak sampainya informasi-informasi kepada orang miskin baik mengenai keuangan, pendidikan dan kesehatan serta informasi-informasi lainnya.
Faktor penyebab kemiskinan nomor satu dan nomor dua masuk kepada kategori penyebab faktor utama secara individu yang tergantung kepada perseorangan atau bergantung kepada orang tersebut. Kelemahan individu pada nomor 2 ini biasanya kelemahan yang penyebabnya adalah orang itu sendiri, bukan disebabkan oleh orang lain walaupun dia berada dalam lingkungan suatu masyarakat yang penuh dengan peluang rezeki.
Sedangkan penyebab nomor tiga adalah masuk kepada kategori publik (masyarakat) dan sangat besar pengaruhnya terhadap peningkatan angka kemiskinan. Kemiskinan jenis inilah yang menjadi fenomena di berbagai negara dewasa saat ini, baik di negara-negara sedang berkembang maupun di negara-negara maju. Bahkan problema ekonomi sesungguhnya bukan kelangkaan keuangan di perbendaharaan negara, melainkan karena buruknya pendistribusian. Fakta menunjukkan bahwa kemiskinan terjadi bukan karena tidak ada uang tapi karena uang yang ada tidak sepenuhnya sampai kepada orang-orang miskin.
Selain itu penyebab dasar kemiskinan dapat terjadi, antara lain :
1.Kegagalan pemilikan (terutama tanah dan modal).
2.Terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar (sarana, dan prasarana).
3.Kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor.
4.Adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan dan sistem yang kurang mendukung.
5.Adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antar sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern).
6.Rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat.
7.Budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkungannya.
8.Tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good goverment)
9.Pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.
Selain penyebab dasar di atas, bahwa kemiskinan dapat juga disebabkan karena :
a.Keterbatasan pendapatan, modal, dan sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti : modal sumber daya manusia (pendidikan formal, ketrampilan, dan kesehatan yang memadai), modal produksi (lahan dan akses terhadap kredit), modal sosial (jaringan sosial dan akses terhadap kebijakan dan keputusan politik), sarana fisik (akses terhadap prasarana jalan seperti jalan, air bersih, listrik), termasuk yang hidup di daerah terpencil.
b.Kerentanan dan ketidakmampuan menghadapi goncangan-goncangan karena : krisis ekonomi, kegagalan panen karena hama, banjir, atau kekeringan, kehilangan pekerjaan (PHK), konflik sosial dan politik, korban kekerasan sosial dan rumah tangga, bencana alam (longsor, gempa bumi, perubahan iklim global), musibah (jatuh sakit, kebakaran, kecurian atau ternak terserang wabah penyakit).
c.Tidak adanya suara yang mewakili dan terpuruk dalam ketidakberdayaan di dalam institusi negara dan masyarakat karena : tidak ada kepastian hukum, tidak ada perlindungan dari kejahatan, kesewenang-wenangan aparat, ancaman dan intimidasi, kebijakan publik yang tidak peka dan tidak mendukung upaya penanggulangan kemiskinan, rendahnya posisi tawar masyarakat.
Alasan lain penyebab masalah kemiskinan dilihat dari aspek pemenuhan hak-hak dasar, kependudukan, ketidakadilan dan kesetaraan gender, antara lain :
•Kegagalan pemenuhan Hak Dasar
Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, pemenuhan kebutuhan pangan yang layak dan memenuhi persyaratan gizi masih menjadi persoalan bagi masyarakat miskin, rendahnya kemampuan daya beli masyarakat merupakan persoalan masyarakat miskin.
•Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan. Masalah utama yang menyebabkan rendahnya derajat kesehatan masyarakat miskin adalah rendahnya akses terhadah pelayanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi. Masalah lain, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar disebabkan oleh terbatasnya tenaga kesehatan, kurangnya peralatan, dan kurangnya sarana kesehatan. Pada umumnya tingkat kesehatan masyarakat miskin masih rendah. Angka Kematian Bayi (AKB) pada kelompok pendapatan rendah selalu di atas AKB kelompok pendapatan tinggi.
•Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan. Pembangunan pendidikan merupakan salah satu upaya penting dalam penanggulangan miskin. Berbagai upaya pembangunan pendidikan yang dilakukan secara signifikan telah memperbaiki tingkat pendidikan.
•Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha. Masyarakat miskin umumnya menghadapi permasalahan terbatasnya kesempatan kerja, terbatasnya peluang usaha, lemahnya perlindungan terhadap asset usaha, perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama pekerja anak dan pekerja perempuan seperti pembantu rumah tangga. Masyarakat miskin memiliki modal yang terbatas dan kurang ketrampilan maupun pengetahuan.
•Memburuknya kondisi lingkungan akibat bencana Tsunami. Meningkat jumlah masyarakat miskin di Nanggroe Aceh Darussalam juga turut disebabkan terjadinya bencana alam dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004. Masyarakat di daerah pedesaan, perkotaan dan kawasan pesisir yang sangat terkena dampak sosial budaya dan ekonomi.
Ada dua masalah pokok dalam kemiskinan, yaitu faktor penyebab dan dampak-dampak yang ditimbulkannya serta penanganannya :
1.Faktor Penyebab
Faktor penyebab kemiskinan adalah berbagai situasi yang memberi ruang akan terjadinya insiden kemiskinan, baik yang menyangkut situasi sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya maupun situasi¬-situasi alami yang terjadi di luar perhitungan manusia. Termasuk dalam kategori ini adalah berbagai krisis yang terjadi baik akibat situasi dalam negeri maupun akibat dampak persoalan global. Krisis moneter sebagai dampak persoalan global merupakan faktor yang sangat berpengaruh.
2.Dampak yang ditimbulkan
Dampak yang ditimbulkan akibat kemiskinan sangat beragam mencakup hampir semua dimensi kehidupan masyarakat dan negara. Terjadinya berbagai permasalahan sosial seperti kejahatan, ketunasosialan, keterlantaran, keterasingan, merupakan manifestasi dan kemiskinan. Dengan kata lain, kemiskinan terbukti menjadi faktor utama rapuhnya ketahanan tatanan sosial sebuah keluarga, suatu komunitas, kelompok atau masyarakat, bangsa dan bahkan negara.
BAB 4
PENANGANAN MASALAH BERBASIS MASYARAKAT
Tahun 2003 dilaksanakan uji coba model rehabilitasi berbasis masyarakat (RBM) terhadap penyandang cacat (Penca). RBM adalah sistem pelayanan yang dilaksanakan dari, oleh dan untuk masyarakat. Gambaran riil di lapangan pelaksanaan uji coba ini model ini dimungkinkan dapat berfungsi sebagai informasi bagi policy maker dalam penyempurnaan program yang akan datang dan informasi bagi Pemerintah Daerah dalam upaya peningkatan pelayanan sosial Penca. Pengembangan pelayanan RBM ini dimaksudkan untuk memperluas jangkauan pelayanan bagi Penca khususnya yang berada di pelosok perdesaan. Hal ini didasarkan perkiraan WHO, bahwa jumlah penca sebanyak 10% dari populasi penduduk Indonesia, dimana 65,5% tinggal di desa. Pengembangan sistem pelayanan ini didasari atas pertimbangan bahwa sejak lama pada masyarakat Indonesia umumnya dan khususnya di pedesaan telah tumbuh dan berkembang nilai budaya saling menolong dan saling membantu ketika ada warga yang sedang ditimpa musibah, sedang hajatan dan lain sebagainya. Nilai budaya seperti itu dimungkinkan untuk dikembangkan guna mengatasi berbagai permasalahan sosial dan khususnya masalah sosial Penca yang ada di masyarakat.
Salah satu lokasi pelaksanaan uji coba model adalah Desa Aikmual yang merupakan salah satu dari 14 desa dan kelurahan di wilayah Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah Propinsi Nusa Tenggara Barat, yang jumlah penduduknya: 2.135 KK (9.888 jiwa : 4.595 jiwa laki-laki dan 4.893 jiwa perempuan) dan luas wilayah 8,98 km2. Di desa tersebut terdapat 54 orang Penca (cacat tubuh : 33 orang, cacat netra : 9 orang, cacat mental : 3 orang, cacat mental (Psikotik/Gila) : 2 orang, tuna wicara : 5 orang; dan penyakit kronis (TB Paru : 2 orang serta kusta : 1 orang). Dilihat dari sisi kecacatan : terdapat 11 orang cacat berat, 35 orang cacat sedang, dan 8 orang cacat ringan. Sedangkan dari tingkat pendidikan: tamat SMA 2 orang, tamat SMP 4 orang, tidak tamat SMP 3 orang, tamat SD / SLB 12 orang dan tidak tamat SD / SLB 24 orang.
Adapun kegiatan yang dilakukan dalam pemetaan sosial adalah identifikasi terhadap penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) khususnya Penca maupun sumber kesejahteraan sosial (SKS) yang ada di Desa Aikmual. Serangkaian kegiatan orientasi dan konsultasi, sarasehan, dan pemetaan sosial tersebut dilakukan oleh aparat instiusi sosial baik pusat, propinsi dan kabupaten. Pihak yang terlibat dalam pelaksanaan ujicoba model adalah: kader RBM, aparat desa, pemuka masyarakat, aparat kecamatan, aparat PUSKESMAS, dan instansi sosial baik kabupaten maupun propinsi. Uji coba model ini dilaksanakan di balai desa dan rumah kepala desa.
Mereka juga berpendapat, Penca juga mempunyai hak yang sama sebagai warga negara Indonesia sebagaimana amanat UUD 1945 : Setiap warga negara berhak atas taraf kehidupan yang layak sesuai harkat dan martabatnya. Mereka juga menyatakan setuju jika kepada Penca dilakukan pemberdayaan secara terencana dengan dukungan dana dan peralatan yang memadai serta kerjasama antara pihak pemerintah dan masyarakat. Selanjutnya, mereka juga setuju jika kepada para Penca dilakukan pendataan, yang dengan pendataan itu diketahui jumlah penca, jenis kecacatan mereka, kebutuhan yang diperlukan dan permasalahan sosial yang mereka dihadapi. SKS yang ada di Desa Aikmual antara lain: TKSM / PSM, Karang Taruna, Orsos (Panti Asuhan Anak, Panti Lanjut Usia), dan lembaga keagamaan Islam-Pondok Pesantren. Di samping itu, juga tersedia tenaga profesional dokter. Selanjutnya, menurut kader RBM, dalam upaya pemberdayaan Penca dibutuhkan pembekalan / pelatihan keterampilan secara memadai dan setelah itu diberikan bantuan stimulan sebagai modal awal usaha, yang dapat berwujud peralatan kerja ataupun bantuan finansial.
Menurut mereka sumber dana dapat berasal dari : Pemerintah Pusat, Propinsi, Kabupaten maupun dari swadaya masyarakat. Dalam uji coba model, kepada Penca diberikan berbagai jenis bimbingan, yaitu kesehatan, sosial, dan keterampilan. Menurut Penca jenis-jenis bimbingan tersebut dirasakan masih kurang, karena mereka belum memperoleh informasi secara jelas dan lengkap, tidak memperoleh alat bantu yang diperlukan sesuai tingkat kecacatan mereka, dan tidak memperoleh peralatan usaha maupun modal usaha. Namun demikian, menurut mereka, pelaksanaan uji coba model berjalan cukup baik karena ada kerjasama yang baik aparat desa, kecamatan / Puskesmas, instansi sosial kabupaten, instansi sosial propinsi dengan pemuka masyarakat. Pemuka masyarakat, pengurus Osos, dan aparat desa menyatakan sangat setuju jika mereka harus mengambil peran dalam penanganan permasalahan penca, dan mereka semua menyatakan terlibat (berpartisipasi) dalam kegiatan ujicoba model.
Bentuk partisipasi mereka bervariasi, antara lain : penyebaran informasi, memberikan motivasi, mengantar dan menjemput penca pada saat pelaksanaan ujicoba model. Selanjutnya, hasil wawancara mendalam dengan penca diperoleh informasi, uji coba model cukup bermanfaat bagi mereka. Dari pelaksanaan uji coba model, terdapat perubahan yang significant dari penca. Hal ini terlihat dari 37 penca peseta ujicoba model dari hasil moniring dan evaluasi yang dilakukan, terdapat 25 orang penca yang dinilai terjadi perubahan sikap dan prilaku sosial, yaitu kemauan mereka mengikuti kegiatan sehari-hari dalam masyarakat, disamping itu juga mulai ada motivasi untuk maju dan menyejajarkan diri dengan warga masyarakat yang tidak cacat.
Mereka mengharapkan, setelah selesai mengikuti kegiatan RBM mereka diberikan bantuan stimulan yang dapat berupa peralatan maupun bantuan finansial sebagai modal awal usaha. Hal ini sejalan dengan harapan pemuka masyarakat, pengurus Orsos, dan aparat desa bahwa setelah kegiatan RBM kepada peserta RBM diberikan bantuan stimulan karena pada umumnya mereka adalah miskin. Faktor pendukung dalam pelaksanaan uji coba model antara lain : dukungan dari pemuka masyarakat, aparat desa, dan aparat instansi terkait, serta kerjasama yang baik unsur pemuka masyarakat dengan aparat desa, kecamatan, kabupaten, maupun propinsi.
4.1Mengembangkan Sistem Sosial Yang Responsif
Pembangunan ditinjau dari Ilmu Sosial, pembangunan diartikan perubahan masyarakat yang berlangsung secara terus menerus sehingga mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara optimal. Paradigma pembangunan yang menekankan pada pembangunan ekonomi mulai ditinggalkan karena tidak dapat menjawab masalah sosial seperti kemiskinan, kenakalan, kesenjangan, dan keterbelakangan.
Keunggulan pembanguan berbasis masyarakat mengarahkan perkembangan pada : (1) kesadaran masyarakat akan pentingnya partisipasi dalam proses pembangunan, (2) konsep teknologi tepat guna, indigenous technology, indigenous knowledge dan indigenous institutions sebagai akibat kegagalan konsep transfer teknologi, (3) Tuntunan masyarakat dunia tentang hak asasi, keadilan, dan kepastian hukum dalam proses pembangunan, (4) Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yang merupakan suatu alternatif paradigma pembangunan baru, (5) lembaga swadaya masyarakat, (6) meningkatkan kesadaran akan pentingnya pendekatan pengembangan masyarakat dalam praksis pembangunan.
Pembangunan berbasis masyarakat menciptakan masyarakat berdaya dan berbudaya. Keberdayaan memungkinkan suatu masyarakat bertahan dan mengembangkan diri untuk mencapai kemajuan. Sebagian besar masyarakat berdaya adalah individunya memiliki kesehatan fisik, mental, terdidik, kuat dan berbudaya. Membudayakan masyarakat adalah meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi tidak mampu lepas dari kemiskinan, kebodohan, ketidaksehatan, dan ketertinggalan. Pengembangan daya tersebut dilakukan dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki masyarakat. Penguatan tersebut meliputi : penyediaan berbagai masukan serta membuka akses pada berbagai peluang yang ada. Masyarakat menjadi pelaku utama pembangunan, dengan inti pemberdayaan adalah transformasi menejemen komunitas menuju kesejahteraan bersama. Pemberdayaan ini merupakan sarana ampuh untuk keluar dari kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan menuju kesejahteraan bersama.
Isu pengentasan kemiskinan dan masalah kesehatan dan lingkungan hidup berkembang akhir-akhir ini di beberapa negara khususnya Uni Eropa. Asumsinya yaitu kemiskinan yang akut di negara-negara berkembang menjadi penyebab utama berlangsungnya kerusakan lingkungan hidup. Mencermati situasi tersebut, makalah ini mencoba untuk mengelaborasi secara singkat beberapa hal mendasar terkait dengan upaya pengentasan kemiskinan yang menjadi agenda dunia melalui pembangunan berkelanjutan sebagai upaya pengembangan wilayah berbasis penataan ruang. Elaborasi yang dilakukan menunjukkan bahwa pengentasan kemiskinan menjadi poin penting yang menentukan keberhasilan pembangunan berkelanjutan dan hanya kalangan publik yang cukup makmur yang mampu mengatasi problem lingkungan.
Sosok final dari konsep pembangunan berkelanjutan belum terlihat jelas, kendati berbagai konvensi internasional dan pertemuan-pertemuan besar telah melahirkan berbagai gagasan maupun kesepakatan termasuk yang mempunyai implikasi hukum secara internasional.
Namun demikian, pada garis besarnya proses menuju pelaksanaan pembangunan berkelanjutan meliputi tindakan-tindakan di bidang kebijakan publik yang meliputi antara lain :
1.Kebijakan konservasi dan diversifikasi energi, ke arah pengurangan penggunaan energi fosil dan makin dominannya penggunaan energi alternatif yang ramah lingkungan.
2.Kebijakan kependudukan untuk menahan laju pertumbuhan penduduk sampai ke tingkat yang dapat ditenggang oleh keberadaan sumber daya alam dan dapat terlayani baik oleh fasilitas publik di bidang kesejahteraan rakyat.
3.Kebijakan spatial untuk menjamin penggunaan ruang wilayah sehingga berbagai kegiatan ekonomi manusia dapat berjalan secara serasi didukung oleh infrastruktur fisik yang memadai, sekaligus juga menyediakan sebagian ruang alam di darat dan di perairan untuk konservasi sumber daya alam.
4.Kebijakan untuk menanamkan budaya dan gaya hidup hemat, bersih dan sehat, sehingga kualitas hidup manusia dapat terjamin dengan menghindarkan pemborosan energi, material dan mengurangi tindakan medik kuratif.
5.Kebijakan pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan untuk menjamin tersedianya kebutuhan dasar manusia akan air bersih, udara bersih, sumber-sumber makanan dan pencegahan bencana.
6.Kebijakan di bidang hukum, informasi, pemerintahan, ekonomi, fiskal dan pendidikan dan lainnya untuk menunjang hal-hal di atas.
Elemen-elemen kebijakan di atas telah hadir di Indonesia sejak didirikannya kelembagaan lingkungan hidup pada tahun 1978, namun sampai hari ini pembangunan berkelanjutan masih belum mencapai tahapan yang signifikan. Bahkan dewasa ini berbagai masalah kronis yang mengancam integritas lingkungan masih saja terjadi, malahan mengalami eskalasi seperti penebangan kayu illegal, kebakaran hutan, kelangkaan air bersih dan turunnya kualitas udara di daerah-daerah urban.
4.2Pemanfaatan Modal Sosial
Orang miskin sekarang yang sudah berusia lanjut barangkali tidak mungkin lagi diberdayakan. Orang yang cacat dan rentan mungkin sulit diberdayakan maksimal. Tetapi yang penting generasi kedua mereka tidak senasib mereka. Siklus kemiskinan harus diputus. Anak orang miskin tidak boleh miskin lagi. Kesempatan harus dibuka lebar dan adil bagi semua. Maka perlu pertumbuhan yang cukup tinggi untuk menciptakan kesempatan kerja yang besar. Beri kesempatan untuk bekerja dan meningkatkan produktivitas.
Yang terutama adalah memberikan pengakuan kepada rumah tangga miskin atas hak mereka. Jika mereka punya lahan berikan sertifikasi hak milik (tentu tanpa biaya). Jika mereka tidak punya lahan, berikan lahan alias lakukan reformasi agraria (land reform). Lahan-lahan menganggur yang dikuasai individu atau perusahaan besar diambilalih (tentu saja dengan membeli) dan mendistribusikannya kepada rumah tangga miskin yang berhak. Untuk itu perlu pendataan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Lahan dengan sertifikat dapat menjadi agunan pinjaman, jaminan asuransi, dan mengurangi risiko pada saat kondisi ekonomi merosot. Pada hakikatnya jadikan aset mati atau menganggur menjadi modal yang hidup (turn dead assets into living capital) dan dengan demikian kita memberikan peluang kepada rumahtangga miskin untuk mencetak uang sendiri tanpa perlu disuapi bantuan tunai terus menerus.
Kedua, ciptakan peluang-peluang usaha bisnis. Usaha ekonomi pertanian dan pengolahan hasil pertanian di Aceh masih kecil-kecil dan selalu kalah bersaing karena tidak kompetitif dari sudut pemasaran, biaya satuan, penerapan teknologi, dan kualitas produk. Usaha skala besar di bidang pertanian, perikanan, perkebunan, dan agrobisnis perlu dihadirkan dan peluang-peluang baru dapat tercipta karena keterkaitan input-output. Petani miskin secara tidak langsung akan terlibat dari mata rantai itu, asalkan mereka punya lahan sendiri. Modal dapat diperoleh sesuai mekanisme pasar. Pemerintah tidak perlu menjadi lembaga keuangan penyalur kredit dan menjadi saingan bank sebagai lembaga intermediasi keuangan. Yang diperlukan hanyalah perluasan Badan Perkreditan Rakyat atau sejenisnya yang jumlah dan jangkauannya di Aceh masih jauh tertinggal dibandingkan daerah lain.
Pembangunan (ekonomi) yang salah satu tujuannya menghapus atau setidak-tidaknya mengurangi kemiskinan, dalam realitasnya justru sering kali menimbulkan kemiskinan baru. Bahkan lebih daripada sekadar paradoks, realitas kemiskinan diyakini atau paling tidak disinyalir justru merupakan salah satu produk pembangunan Dalam konteks itulah pembicaraan mengenai modal menjadi amat relevan sebab faktanya orang kerap kali menjadi miskin (mengalami pemiskinan) dalam proses pembangunan karena orang tersebut tidak memiliki cukup modal.
Dalam literatur ekonomi modal didefinisikan sebagai faktor-faktor produksi yang pada suatu ketika atau di masa depan diharapkan bisa memberikan manfaat atau layanan-layanan produktif atau productive services. Secara spesifik, modal dalam literatur ekonomi merujuk pada modal fisik (physical capital) dan modal manusia (human capital). Modal fisik mengacu pada barang-barang yang kelihatan (tangible), keras, dan sering kali tahan lama (durable) seperti bangunan pabrik, peralatan, mesin, dan persediaan (inventory). Yang tampaknya luput dari perhatian para ahli ekonomi ketika mereka merumuskan berbagai jenis modal adalah bahwa manusia sebagai aktor bertindak tidak semata-mata digerakkan oleh tujuan, atas dasar kepentingan pribadi, dan bersifat independen. Dalam kenyataannya, tindakan manusia juga tindakan ekonomisnya juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan.
Dalam pandangan para sosiolog itulah yang kemudian dikenal sebagai modal sosial (social capital). Terdapat berbagai definisi mengenai modal sosial ini. Terlepas dari berbagai definisi yang diajukan oleh para ahli, modal sosial telah menjadi bahan perbincangan yang menarik dan relevan ketika orang berbicara tentang pembangunan dan kemiskinan. Dengan mendasarkan diri pada pemahaman bahwa modal sosial memberikan sumbangan berarti bagi pembangunan (ekonomi) pada umumnya dan pengurangan kemiskinan pada khususnya, menarik untuk memerhatikan betapa kelompok etnis tertentu mampu meraih prestasi dan pencapaian-pencapaian lain dalam derajat yang lebih tinggi dibanding etnis lain. Dalam hal ini, menunjukkan bahwa keluarga dan masyarakat dengan modal sosial yang tinggi mampu mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan menjadi kelas yang lebih independen dibandingkan dengan keluarga atau masyarakat dengan modal sosial yang rendah.
4.3Pemanfaatan Institusi Sosial
Pemerintah melalui Pendidikan Luar Sekolah (PLS), sebenarnya telah membuka peluang bagi masyarakat untuk mengikuti program pendidikan keterampilan sesuai dengan keinginan dan keperluan masing-masing. Kecakapan hidup, sebenarnya lebih bermanfaat bagi masyarakat, terutama kaum perempuan yang akhirnya bertindak sebagai manager keuangan dalam rumah tangganya. Bisa kita lihat berapa banyak perempuan yang rela berdagang, berapa banyak yang rela menjadi penjaja jasa dan berapa banyak yang harus menerima sebagai pemulung karena mereka tidak bisa berkreasi atau tidak ahli dalam bidang keterampilan. Padahal jika mereka terampil, misalkan sebagai pengrajin, sebagai pengelola salon kecantikan, maupun ahli di bidang lainnya, tentulah mereka bakal mendapatkan penghasilan tambahan yang berguna sebagai penopang ekonomi keluarga.
Dari peningkatan ekonomi itu keinginan untuk terus menyekolahkan anak-anak mereka sebagai generasi penerus bangsa. Pemerintah, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi terkait perlu memberikan perhatian tentang hal ini. Tentu saja dengan membangun mata rantai pembinaan keterampilan terhadap masyarakat, terutama kaum perempuan. Pendataan diawali dari kelurahan, menyangkut potensi yang ada dan berapa jumlah perempuan yang ada di daerah itu. Kemudian mengajak partisipasi lembaga penyelenggara kursus atau keterampilan yang bisa mendidik atau membimbing kaum perempuan sesuai dengan hobi atau bakat yang mereka miliki. Dalam hal ini, tentu saja memerlukan dana yang tidak sedikit karena itu setiap Kepala Desa atau Lurah dapat mengikutsertakan orang berada atau lembaga kursus maupun perusahaan di lokasi tersebut memberikan dukungan dana. Jika aliran dana belum bisa menampung semua peserta didik, harus dilakukan sistem silang. Bila satu kelompok selesai belajar harus memberikan ilmunya kepada kelompok lain.
Tentu saja, keterampilan yang didapatkan perlu penempatan atau mempekerjakan mereka. Andil pemerintah tentu saja membangun dunia usaha sekaligus memberi kesempatan modal untuk wirausaha. Untuk mampu melaksanakan profesi ini, semua pihak termasuk pemberi modal usaha, perlu memberikan rangakaian pendidikan dan pengetahuan menyangkut pemanfaatan modal usaha. Hal ini sangat perlu, mengingat kaum perempuan adalah ibu rumah tangga yang harus mengatur keuangan rumah tangganya.
Penanggulangan kemiskinan memerlukan strategi besar yang bersifat holistik dengan program yang saling mendukung satu dengan lainnya sehingga upaya pemahaman terhadap penyebab kemiskinan perlu dilakukan dengan baik. Adapun yang menjadi elemen utama dalam strategi besar tersebut adalah pendekatan people driven di mana rakyat akan menjadi aktor penting dalam setiap formulasi kebijakan dan pengambilan keputusan politis.
Meskipun partisipasi masyarakat merupakan komponen penting dalam pengentasan kemiskinan. Namun, partisipasi masyarakat saja ternyata tidak cukup karena pengentasan kemiskinan bukan hanya tanggung jawab masyarakat, tapi juga tanggung jawab semua pihak, baik itu pemerintah, swasta, maupun pihak-pihak yang peduli terhadap pengentasan kemiskinan. Untuk itu pengentasan kemiskinan butuh dukungan semua pihak. Selain itu, perlu adanya kesepakatan tentang tingkatan partisipasi masyarakat dalam program-program pengentasan kemiskinan. Hal ini untuk menghindari kembalinya masyarakat sebagai objek pembangunan. Sekaligus juga untuk memperkuat peran masyarakat dalam suatu program. Begitu pula dengan kelembagaan dalam bentuk wadah-wadah informal, seperti forum warga sangat dibutuhkan dalam melaksanakan pendekatan partisipatif. Upaya itu untuk memfasilitasi masyarakat miskin agar menyuarakan aspirasinya tanpa ada rasa takut.
Untuk mewujudkan partisipasi masyarakat tersebut diperlukan tenaga pendamping lapangan. Tenaga pendamping lapangan ini biasanya dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai motivator dan fasilitator dalam pelaksanaan suatu program. Banyak keuntungan dalam kerjasama antara LSM dengan pemerintah, yaitu antara lain (1) Pemerintah dapat menghemat pembiayaan untuk menangani masalah-masalah lokal yang bersifat mikro, (2) program-program pembangunan pemerintah yang selalu bersifat top-down, sehingga LSM dapat berfungsi sebagai perantara (mediator) untuk menyampaikan aspirasi-aspirasi dari ‘bawah’ dengan permasalahan mikro yang ada di tengah masyarakat. Dengan demikian selain masyarakat diuntungkan dengan penyampaian aspirasi dari bawah tersebut, juga berbagai dampak negatif dapat diidentifikasi oleh LSM dan ditanggulangi secara swadaya oleh masyarakat melalui kegiatan-kegiatan LSM.
4.3.1 Organisasi Masyarakat
Rancangan pembangunan masyarakat desa sejak lama ditengarai tidak dilandasi kebutuhan dasar dan kearifan lokal. Bahkan ada kecenderungan untuk menyeragamkan dan mengabaikan potensi besar yang dimiliki masyarakat di desa seperti semangat kesetiakawanan, gotong royong, dan kesukarelaan. Sebagai upaya untuk pengentasan kemiskinan di kawasan pedesaan, Japan International Cooperation Agency (JICA) mendorong sebuah sistem untuk mendukung pembangunan desa di Kabupaten Takalar, bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan. Dukungan JICA ini dimulai dari Maret 1997 dan berakhir Februari 2002.
Merasakan manfaat dari Sistem Dukungan Terpadu Pembangunan di Desa (Sisduk), Pemerintah Daerah Kabupaten Takalar mereplikasi model ini ke seluruh desa/kelurahan di wilayahnya. Sejumlah Peraturan Daerah dan Keputusan Bupati telah dikeluarkan sebagai bukti keseriusan Kabupaten Takalar menerapkan model ini dalam program penanggulangan kemiskinan di pedesaan.
Ada tiga asas yang hendak dicapai oleh program Sisduk ini yaitu mendorong kegiatan pembangunan desa yang partisipatif melalui metode pendampingan yang sesuai dengan karakteristik masyarakat di tiap desa; mendorong perencanaan dan penganggaran yang partisipatif guna membuka ruang bagi masyarakat dalam mengatasi kemiskinan dan menyusun strategi pembangunan bersama sesuai situasi dan kondisi setempat.
Potensi masyarakat desa yang terabaikan merupakan topik penting dalam mengatasi kemiskinan. Kesalahan dalam menilai potensi masyarakat desa seringkali mendorong mereka ke dalam jurang kemiskinan ketimbang mengeluarkan mereka dari belenggu kemiskinan.
Sistem Dukungan Terpadu memberi jawaban yang lebih konkrit dan membuka ruang bagi masyarakat desa untuk berinisiatif melaksanakan kegiatan bersama dengan memobilisasi dan menggunakan sumberdaya yang ada tanpa menunggu persetujuan dari pemerintah daerah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat desa. Setidaknya, pelaksanaan program ini yang didorong oleh JICA selama lima tahun telah mengatasi kendala tidak efektifnya program penanggulangan kemiskinan di desa yakni kurangnya transparan dan ketidakadilan dalam proses evaluasi kebutuhan dan perencanaan anggaran pembangunan desa.
Sistem Dukungan Terpadu menargetkan pelembagaan sistem administrasi daerah untuk menanggulangi kemiskinan di desa, dengan menyediakan pelayanan sanitasi, kesehatan, kesejahteraan, dan usaha rakyat dengan mengajak partisipasi aktif masyarakat desa. Masyarakat secara berkelompok menyusun rencana kegiatan dengan didampingi fasilitator dan melalui serangkaian pemeriksaan (verifikasi) oleh Tim Asistensi Kecamatan agar dapat menyusun rencana yang mudah (realistis), jelas, dan berskala kecil untuk diimplementasikan di tingkat desa.
Dengan sistem ini, kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat dalam mengalokasi penggunaan sumberdaya dan pengambilan keputusan tampak lebih jelas. Masyarakat merasa dihargai dan merasa bertanggung jawab atas sebagian biaya dan kegiatan dari rencana yang diajukan oleh kelompoknya di tingkat desa. Partisipasi masyarakat dan keterbukaan Pemerintah Daerah dalam proses penganggaran kegiatan pembangunan terbukti dapat mengefektifkan upaya penanggulangan kemiskinan. Upaya penanggulangan kemiskinan dengan menerapkan Sistem Dukungan Terpadu tidak hanya menyangkut aspek pembiayaan kegiatan tetapi juga dapat memperkuat pelembagaan modal sosial dalam masyarakat desa. Dengan demikian diharapkan berbagai kegiatan pembangunan desa dapat berkelanjutan dan mandiri.
4.3.2 Organisasi Swasta
Organisasi swasta juga memiliki peran penting dalam usaha mengentaskan kemiskinan, sebagai contoh Bank Grameen. Bank Grameen adalah sebuah organisasi kredit mikro yang dimulai di Bangladesh yang memberikan pinjaman kecil kepada orang yang kurang mampu tanpa membutuhkan collateral (jaminan). Sistem ini berdasarkan ide bahwa orang miskin memiliki kemampuan yang kurang digunakan. Pendirian Grameen Bank diprakarsai oleh Muhammad Yunus seorang profesor bidang ekonomi dari Chittagong University pada tahun 1976. Beliau berpendapat bahwa kemiskinan sungguh merupakan persoalan struktural yang kompleks kemiskinan diciptakan oleh institusi dan kebijakan yang mengitarinya.
” What good were all my complex theories when people were dying of starvation on the sidewalks and porches across from my lecture hall? … Nothing in the economic theorities I thaught reflected the life around me (Moeis: 2008). Dengan memegang prinsip tersebut, Muhammad Yunus memutuskan untuk menanggalkan semua pengetahuan / teori yang didapatnya di universitas guna mengenali kemiskinan yang ada disekitarnya dan mulai menganggap bahwa kaum miskin menjadi gurunya. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui penyebab kemiskinan secara nyata dari orang miskin, menggunakan kepekaan hati untuk memberikan solusi pengentasan kemiskinan
Pada awal pendirian, Grameen Bank meluncurkan pemberian kredit mikro kepada masyarakat miskin dimana pada saat ini pemberian kredit kepada masyarakat miskin dianggap sesuatu yang tidak mungkin karena dianggap orang miskin tidak mampu untuk membayar hutang. Pada akhirnya membuktikan bahwa pemberian kredit ke kaum miskin bukanlah suatu yang mustahil. Kredit ke kaum papa itu juga berperan memotong lingkaran kemiskinan, julukan bagi keadaan di mana kaum miskin tetap miskin karena dia miskin dan demikian terus berlaku secara turun- temurun tanpa menemukan jalan keluar.
Grameen Bank merancang kredit mikro berbasis kepercayaan bukan kontrak legal maupun jaminan. Konkretnya, peminjam diminta membuat kelompok yang terdiri dari lima orang dengan satu pemimpin. Pinjaman diberikan secara berurutan dengan catatan orang kedua baru bisa meminjam setelah pinjaman orang pertama dikembalikan. Selain itu, kelompok peminjam dituntut membuat berbagai agenda sosial yang bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya. Inisiatif berasal dari kelompok bukan didasarkan pada keinginan dari Grameen Bank. Masyarakat diberi kesempatan untuk berkembang, dihargai untuk menjadi dirinya sendiri, mengetahui apa yang menjadi kebutuhannya dan belajar serta berupaya memenuhi kebutuhannya. secara mandiri.
Selain itu pembentukan kelompok diperkuat, pemilihan pemimpin kelompok dan pengurus melalui memilihan yang demokratis, mendorong diskusi yang intensif untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan lingkungan, pendidikan anak dan teknologi. Dalam hal ini pihak Grameen Bank hanya sebagai fasilitator dan meminjamkan kredit. Model pemberdayaan ini bukan sekadar berfokus kepada kemiskinan finansial, tetapi juga sosial. Ia dirancang guna mendorong rasa tanggung jawab dan solidaritas terhadap sesama peminjam dalam satu komunitas. Hal ini dibangun karena diyakini bahwa kemiskinan bukan semata disebabkan oleh kekurangan modal finansial, tetapi juga sosial.
Disinilah Grameen Bank mampu membangun social capital pada masyarakat miskin di Bangladesh dan memberdayakannya sehingga mampu untuk bergerak keluar dari garis kemiskinan yang selama ini menyelimutinya. Program Grameen Bank sudah membuktikan dirinya dalam mengentaskan kemiskinan di Banglades.
Faktor keberhasilan Grameen Bank dalam mengentaskan kemiskinan di masyarakat Bangladesh dikarenakan karakter kredit mikro yang diberikan Grameen Bank berpihak kepada kaum miskin dan mendorong pemberdayaan serta social capital masyarakat miskin yang tergabung dalam kelompok seperti : 1) fokus pada orang yang termiskin diantara yang miskin, 2) diprioritaskan pada wanita miskin, 3) kredit berdasarkan kepercayaan bukan berdasarkan penjaminan, kontrak legal , prosedur dan sistem, 4 ) kredit diupayakan untuk menciptakan lapangan kerja sendiri dirumah tangga miskin dan bukan untuk konsumsi, 5) menyediakan layanan untuk orang miskin (bank proaktif mendatangi orang miskin), 6) untuk memperoleh pinjaman, satu peminjam harus bergabung dengan kelompok peminjam 7) peminjaman baru dapat tersedia bagi satu peminjam jika seorang peminjam yang lain telah mengembalikan pinjaman sebelumnya 8) Semua pinjaman diharapkan dapat dibayar/diangsur dalam mingguan atau dua mingguan 9) Peminjam dapat meminjam lebih dari satu kali 10) ada dua model simpanan bagi anggota yakni simpanan wajib dan sukarela 11) Suku bunga pinjaman dijaga dekat dengan suku bunga pasar tanpa mengorbankan tujuan langsung untuk mengentaskan kemiskinan 12) Memberi prioritas yang tinggi untuk membangun social capital seperti pembentukan kelompok diperkuat , pemilihan pemimpin kelompok dan pengurus melalui memilihan yang demokratis, mendorong diskusi yang intensif untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan lingkungan, pendidikan anak dan teknologi.
Belajar dari Grameen Bank, ada beberapa catatan yang dapat dijadikan pembelajaran dalam proses pengentasan dan pemberdayaan masyarakat miskin sebagai berikut :
1.Dalam pemberdayaan masyarakat miskin, hal yang perlu dilakukan adalah menjadikan mereka sebagai subyek garap bukan obyek garap. Warga miskin diajak untuk merumuskan permasalahan yang dihadapi dan difasilitasi untuk memecahkan permasalahannya tanpa harus memberikan paket – paket program yang sudah jadi.
2.Kemiskinan tidaklah sekedar miskin finansial akan tetapi dapat terjadi karena miskin sosial, ketiadaan akses, adanya budaya kemiskinan. Untuk itu perlu mengembangkan sosial capital pada kelompok masyarakat miskin melalui pengembangan kapasitas pada masyarakat miskin.
3.Perlu membongkar mindset yang beranggapan bahwa masyarakat miskin selamanya bodoh, terbelakang , tidak bisa dipercaya dan tidak bisa diajak maju. Namun jika diberi kesempatan, diberdayakan dengan benar dan diberi kepercayaan berkembang untuk menjadi dirinya sendiri maka mereka akan mampu mengembangkan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan pada akhirnya akan keluar dari garis kemiskinan yang selama ini membelenggu hidupnya.
4.3.3Optimalisasi Kontribusi Dalam Pelayanan Sosial
Pelayanan kesehatan bagi orang miskin sering menjadi sorotan pemerintah, seiring meningkatnya jumlah orang miskin dan naiknya pelayananan pengobatan. Adanya program ASKESKIN dari pemerintah memang sedikit membantu bagi orang miskin namun pelaksanaannya banyak menemui kendal-kendala. Program pelayanan kesehatan bagi orang miskin perlu diperbaiki dengan cara mengajak partisipasi aktif dari masyarakat sekitar untuk mendukung program pelayanan ini.
Perancangan dibutuhkan untuk memudahkan Rumah Sakit dan Keluarga Miskin dalam menggunakan program layanan kesehatan ini dan juga memberikan gambaran rancang bangun bagi Rumah Sakit dan badan-badan sosial mengintegrasikan program layanan kesehatan bagi keluarga miskin di kabupaten Bandung.
Dengan program Layanan Kesehatan ini keluarga miskin yang akan berobat tidak perlu lagi khawatir masalah biaya pengobatan karena sudah ada yang membiayai sedang bagi rumah sakit tidak perlu khawatir nantinya klaimnya tidak dibayar.
Perancangan program layanan kesehatan ini dapat membantu pemerintah dalam mengatasi masalah sosial pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin, selain itu juga dapat membantu orang miskin dalam pemenuhan kebutuhan kesehatannya. Program ini juga membutuhkan partisipasi aktif warga kabupaten Bandung untuk menyukseskan program ini. Pelayanan sosial bagi masyarakat miskin seharusnya juga lebih diutamakan. Seperti yang diungkapkan Menteri Kesehatan dr. Endang R. Sedyaningsih, MPH, Dr.PH mengatakan Jaminan Kesehatan Masyarakat untuk masyarakat miskin (Jamkesmas) tetap dilanjutkan. Bahkan dalam program 100 hari Depkes cakupannya diperluas meliputi masyarakat miskin penghuni panti sosial, masyarakat miskin penghuni Lapas/ Rutan dan masyarakat miskin akibat korban bencana (pasca tanggap darurat).
Lebih lanjut Menkes menambahkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin tersebut berlaku sejak ditanda tanganinya kesepakatan bersama antara Menkes dengan Mensos, Menkum dan HAM dan Mendagri pada tanggal 17 Desember 2009 di Jakarta. Sementara kartu Jamkesmas dalam proses penyelesaian, warga miskin di Panti Sasial, Lapas/Rutan yang memerlukan pelayanan kesehatan sementara sudah dapat dilayani dengan cukup membawa surat pengantar dari kepala panti sosial, Lapas/ Rutan.
Jamkesmas telah menunjukkan keberhasilan, tidak hanya penjaminan dan perlindungan pelayanan kesehatan, tapi melalui Jamkesmas akan mempercepat reformasi bidang kesehatan. Melalui program ini telah mendorong Rumah Sakit lebih sadar biaya dan sadar mutu pelayanan. Manajemen rumah sakit telah terdorong melakukan cost containment, dokter lebih patuh membuat diagnosa dengan benar, resume medis, pengendalian penggunaan obat dan bahan habis pakai, mendorong peran dan fungsi pemerintah provinsi/kota/kabupaten, pada suatu saat akan mendorong pemanfaatan alat/bahan/obat produk dalam negeri, sehingga menumbuhkan industri dan lapangan kerja, jelas Menkes.
Menkes menegaskan, pelaksanaan Jamkesmas sebagai bagian dari penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Sosial secara menyeluruh. Penjaminan kesehatan sosial yang dilaksanakan pemerintah melalui Jamkesmas merupakan kewajiban negara terhadap fakir miskin dan orang tidak mampu memang mendapat prioritas, tetapi secara bertahap kepesertaannya akan ditingkatkan seluruh penduduk sebagaimana diamanatkan dalam UU no.40 tahun 2004, tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
4.3.4 Kerjasama dan Jaringan
Sepuluh tahun yang lalu, tepatnya pada bulan Juli 1997, beberapa negara dikawasan Asia yaitu Malaysia, Filiphina, Thailand, Korea Selatan serta Indonesia diguncang krisis moneter dan mengalami penurunan nilai tukar negara-negara dikawasan Asia. Menurut beberapa pengamat dan analis, krisis moneter ini terjadi karena adanya krisis kualitas lembaga-lembaga keuangan yang berbasis pada penerapan suku bunga. Tingginya nilai suku bunga sebagai penyebab dari krisis moneter mengakibatkan ambruknya dunia perbankan dan sektor riil yang berpengaruh pada ketidakstabilan pertumbuhan ekonomi.
Pada saat krisis moneter melanda, perbankan konvensional tidak memiliki ketersediaan dana liquid yang cukup untuk operasionalnya. Nasabah peminjam mengalami ketidakmampuan untuk mengembalikan dana pinjaman karena tingginya nilai suku bunga. Kemacetan pengembalian dana pinjaman dari pihak nasabah ke perbankan berimplikasi pada ketidakmampuan pihak perbankan untuk mengembalikan dana pinjaman kepada Bank Indonesia. Sehingga pada saat nilai suku bunga melonjak tinggi, kondisi ini mengakibatkan goncangan pada sistem manajemen moneter perbankan konvensional. Selain itu, perbankan konvensional juga cenderung kurang dalam pengembangan sektor riil dan lebih bermain pada transaksi yang spekulatif berdasarkan nilai suku bunga.
Terpuruknya perekonomian Indonesia (perbankan konvensional) yang berakibat kepada krisis sosial menjadi suatu pembelajaran bagi pemerintah dan para pengambil kebijakan moneter untuk mencoba menerapkan sistem manajemen moneter alternatif, dikarenakan sistem yang ada secara faktual dan berdasarkan pengalaman telah berimplikasi negatif terhadap bangunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem manajemen Syariah disebut-sebut dan diyakini dapat menjadi solusi dalam membangun kembali sistem perekonomian di Indonesia.
Sistem ini menggaris bawahi bahwa uang hanya berfungsi sebagai alat tukar bukan merupakan komoditi yang dapat diperdagangkan, apalagi mengandung unsur spekulasi yang diyakini dapat mendatangkan kerugian bagi masyarakat. Selain itu, sistem Syari’ah juga menekankan bahwa peredaran uang tidak boleh terjadi hanya dibeberapa kelompok saja, karena akan terjadi konsentrasi modal yang mengakibatkan lumpuhnya perekonomian pada masyarakat ditingkat bawah.Permasalahan bunga dalam sistem perbankan konvesional telah mendapatkan kritik habis-habisan baik secara normatif maupun ijma dari ulama-ulama Islam kontemporer. Bunga diyakini sebagai salah satu bentuk riba modern yang cenderung eksploitatif serta memiliki semangat dehumanisasi, selain itu riba juga mendidik manusia untuk menjadi pemalas dan memiliki mental penunggu. Dalam konteks sosial, riba akan menimbulkan benih-benih permusuhan dan potensi-potensi konflik horizontal yang akan ikut menciptakan kemiskinan terstruktur secara gradual.
Sistem Syari’ah sangat berbeda dengan sistem konvensional yang cenderung eksploitatif dan tidak manusiawi. Ia sangat menekankan keadilan, kesamaan dan kesejahteraan yang merata untuk semua lapisan masyarakat serta memiliki visi dan komitmen sosial yang konstruktif dan manusiawi. Nilai-nilai tersebut kemudian menjadi cara pandang yang mendorong pelaku-pelakunya untuk selalu menjalankannya, sehingga pada tataran aksiologis dan aplikatif diterapkan pola-pola atau mekanisme yang produktif dan saling menguntungkan.
Peristiwa lainnya seperti pada akhir Nopember 2006, ketika menutup Konferensi Nasional Pembangunan Manusia, Presiden Rl, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, menyatakan bahwa kondisi dan pertumbuhan penduduk Indonesia sangat memprihatinkan. Penduduk Indonesia mempunyai pendidikan rendah dan tingkat kemiskinan yang tinggi. Pertumbuhan penduduk diperkirakan sudah meningkat kembali menjadi sekitar 1,3 persen atau lebih. Oleh karena itu Presiden menyerukan agar semua pihak segera mengambil langkah-langkah konkrit membangun penduduk dan merevitalisai program KB seperti masa lalu.
Untuk menanggapi ajakan tersebut, Yayasan Damandiri mengembangkan program untuk membangun penduduk melalui pemberdayaan keluarga dengan merangsang pembentukan forum silaturahmi dan informasi pada tingkat pedesaan dan pedukuhan. Forum tersebut dinamakan Pos Pemberdayaan Keluarga atau disingkat Posdaya. Melalui forum tersebut berbagai anggota organisasi diundang membantu keluarga yang berada di sekitar Posdaya memahami fungsi dan perannya serta bergotong royong mengentaskan kemiskinan dan membangun keluarga sejahtera.
Posdaya adalah forum komunikasi, silaturahmi, advokasi, penerangan dan pendidikan, sekaligus wadah kegiatan penguatan fungsi keluarga secara terpadu. Apabila memungkinkan Posdaya bisa dikembangkan sebagai wadah pelayanan keluarga secara terpadu, utamanya pelayanan kesehatan, pendidikan, wirausaha, dan pengembangan lingkungan yang memudahkan keluarga berkembang secara mandiri. Upaya pemberdayaan yang ditawarkan dalam Posdaya diarahkan untuk mendukung penyegaran fungsi keluarga, yaitu keagamaan, budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi dan kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan lingkungan. Dalam Posdaya keluarga yang lebih mampu, kalau perlu dengan pendampingan petugas pemerintah atau organisasi masyarakat, membantu penguatan kemampuan keluarga yang kurang mampu.
Secara ringkas tujuan pembentukan Posdaya adalah :
1.Menyegarkan modal sosial seperti hidup gotong royong dalam masyarakat untuk membantu pemberdayaan keluarga secara terpadu dan membangun keluarga bahagia dan sejahtera.
2.Ikut memelihara lembaga sosial kemasyarakatan yang terkecil, yaitu keluarga, yang dapat menjadi perekat masyarakat sehingga tercipta kehidupan yang rukun, damai dan memiliki dinamika tinggi.
3.Memberi kesempatan kepada setiap keluarga untuk memberi atau menerima pembaharuan yang dapat dipergunakan dalam proses pembangunan keluarga yang bahagia dan sejahtera.
BAB 5
UPAYA PENANGANAN MASALAH
Penanggulangan kemiskinan merupakan upaya terus menerus terjadi karena kompleksitas permasalahan yang dihadapi masyarakat miskin dan keterbatasan sumberdaya untuk mewujudkanpemenuhan hak-hak dasar. Langkah-langkah penanggulangan kemiskinan tidak dapat ditangani sendiri oleh satu sektor tertentu, tetapi harus multi sektor dan lintas sektor dengan melibatkan stakeholder terkait untuk meningkatkan efektivitas pencapaian program yang dijalankan. Olehsebab itu, langkah-langkah yang ditempuh dalam penanggulangan kemiskinan dijabarkan ke dalam program sebagai berikut :
1.PROGRAM PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN
•Peningkatan distribusi pangan, melalui penguatan dan kapasitas kelembagaan dan peningkatan infrastruktur pedesaan yang mendukung sistem distribusi untuk menjamin terjangkau pangan.
•Pencegahan dan penanggulangan masalah pangan melalui bantuan pangan kepada keluarga miskin/rawan pangan.
•Revitalisasi sistem lembaga ketahanan pangan masyarakat.
•Pemberian subsidi dan kemudahan kepada petani dalam memperoleh sarana produksi, bibit, pupuk dan obat-obatan pemberantasan hama.
•Penelitian untuk meningkatkan varietas tanaman pangan unggul.
•Pelatihan penerapan tehnologi tepat guna untuk meningkatkan produktivitas dan produksi pertanian.
•Pengembangan industri pengolahan pangan
•Pelaksanaan pemantauan ketersediaan, harga bahan pangan di pasar tradisionil.
2.PROGRAM PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT
•Pelayanan kesehatan penduduk miskin di Puskesmas dan jaringannya.
•Pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana puskesmas dan jaringannya.
•Pengadaan peralatan dan perbekalan termasuk obat generik.
•Peningkatan pelayanan kesehatan dasar mencakup kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, pemberantasan penyakit menular dan peningkatan gizi.
•Pengadaan dan Peningkatan SDM tenaga kesehatan.
3.PROGRAM PELAYANAN PENDIDIKAN
•Peningkatan Pendidikan Dasar
•Peningkatan Pendidikan Menengah dan Tinggi
•Peningkatan Pendidikan Luar Sekolah
•Pengembangan dan Pemanfaatan Hasil Penelitian dan IPTEK
•Peningkatan Apresiasi seni
•Pelestarian dan Pengembangan Adat Aceh
4.PROGRAM PENINGKATAN KESEMPATAN KERJA DAN BERUSAHA
•Peningkatan kemampuan calon tenaga kerja berkemampuan memasuki lapangan kerja di dalam negeri dan luar negeri.
•Peningkatan jaminan keselamatan, kesehatan dan keamanan kerja.
•Peningkatan ketrampilan kerja bagi calon tenaga kerja.
Menurut Soetatwo Hadiwiguno, kemiskinan adalah masalah yang kronis dan kompleks. Dalam menanggulangi kemiskinan permasalahan yang dihadapi bukan hanya terbatas pada hal-hal yang menyangkut pemahaman sebab-akibat timbulnya kemiskinan, melainkan juga melibatkan preferensi, nilai, dan politik. Kemudian menurut Nurhadi, dijelaskan bahwa untuk menanggulangi kemiskinan dapat dilakukan melalui 2 pendekatan, yaitu :
a)Pendekatan peningkatan pendapatan.
b)Pendekatan pengurangan beban.
Kedua pendekatan tersebut ditopang oleh empat pilar utama, yaitu :
a)Penciptaan kesempatan
b)Pemberdayaan masyarakat
c)Peningkatan kemampuan
d)Perlindungan sosial
Tanggapan utama terhadap kemiskinan adalah :
•Bantuan kemiskinan, atau membantu secara langsung kepada orang miskin. Ini telah menjadi bagian pendekatan dari masyarakat Eropa sejak zaman pertengahan.
•Bantuan terhadap keadaan individu. Banyak macam kebijakan yang dijalankan untuk mengubah situasi orang miskin berdasarkan perorangan, termasuk hukuman, pendidikan, kerja sosial, pencarian kerja, dan lain-lain.
•Persiapan bagi yang lemah. Daripada memberikan bantuan secara langsung kepada orang miskin, banyak negara sejahtera menyediakan bantuan untuk orang yang dikategorikan sebagai orang yang lebih mungkin miskin, seperti orang tua atau orang dengan ketidakmampuan, atau keadaan yang membuat orang miskin, seperti kebutuhan akan perawatan kesehatan.
Kondisi Indonesia yang masih banyak masyarakat miskin membuat pemerintah bereaksi dengan membentuk program-program. Adapun tujuan utama dari pembuatan program ini adalah mengentaskan kemiskinan. Dalam pemerintahan SBY program ada dalam bentuk Bantuan langsung dan ada juga bentuk pemberdayaan. Program pengentasan kemiskinan SBY diantaranya diantaranya: BLT, Jamkesmas, PNPM mandiri, dan menurunkan harga bbm. Paling tidak ke-4 program ini mencerminkan bahwa pemerintahan SBY bukanlah neolib, sebab ke-4 program merupakan program yang berbasis kemasyarakatan
Upaya penanggulangan kemiskinan melalui proses pemberdayaan masyarakat. Beberapa program pemberdayaan masyarakat dari berbagai program serupa yang telah dan sedang dilaksanakan oleh pemerintah adalah P2KP, CERD, WSLIC, dan P2D, sekarang SBY membuat program PNPM. Program-program pemberdayaan tersebut selain memberikan pengalaman kepada masyarakat mengenai bagaimana penyusunan program, pelaksanaan sampai dengan pemantapan dan pengawasannya, juga membangun sarana dan prasarana dasar serta stimulan kegiatan ekonomi. Atau pembangunan sarana dan prasarana yang dilaksanakan sebagai media pemberdayaan masyarakat melalui pemberian pengalaman serta peningkatan partisipasi masyarakat.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment